Thursday, February 26, 2009

Menjadi Warga Kehormatan Armidale


This is to certify that Chairil Anwar Korompot is recognized as an Honorary Citizen of the Local Government Area of Armidale Dumaresq on this day 27 February 2009 and is entitled to all the courtesies and respect of a citizen of the Local Government Area of Armidale Dumaresq New South Wales, Australia.

Cr Peter Ducat, Mayor
Shane Burns, General Manager


Itulah isi piagam yang saya terima langsung dari tangan Walikota (Mayor) Armidale Dumaresq, Cr. Peter Ducat, pada hari ini, Jum’at 27 Februari 2009 di Town Hall, Armidale. Yang menerima piagam selain saya adalah beberapa teman asal Indonesia dan ratusan siswa dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia.

Foto: Mayor Peter Ducat dan saya dalam acara Mayor’s Civic Welcome di Town Hall, 27 Februari 2009.

Sunday, February 1, 2009

Jadi "Buruh Tani" di Negeri Kanguru


Topi lebar, kacamata hitam, jaket, pisau di tangan kanan, brokoli di tangan kiri, ladang brokoli, traktor dan trailer, orang-orang berpenampilan hampir sama, dan langit musim panas Armidale yang biru. Gambaran apakah ini?

Inilah saya dalam seminggu ini: bekerja sebagai "buruh tani" di sebuah ladang pertanian sekitar 15km di tenggara luar kota Armidale. Di tempat bernama "Matilda Farms" ini, saya bersama beberapa teman Indonesia dan Korea memanen sayuran brokoli dan daun selada (lettuce). Dengan upah $17 per jam, kami bekerja sejak pukul 7 pagi tepat hingga sekitar pukul 4 atau 5 sore, di tengah terik matahari musim panas Australia (yang telah mengakibatkan gelombang panas, kebakaran hutan, kerusakan jaringan listrik, dan bahkan kematian di tempat lain seperi Melbourne dan Adelaide). Untuk mencapai tempat ini kami menumpang 2 mobil milik teman-teman yang kami sebut "lebih sejahtera" karena memiliki mobil di negeri orang.

Dengan "dipersenjatai" pisau, kami berbaris di belakang sebuah traktor besar yang bagian belakangnya dipasangi ban berjalan (conveyor belt) sepanjang 10 meter dan sebuah traktor lain di sisinya yang membawa deretan enam kotak plastik (bins) berukuran 1.5 x 1.5 meter. Kedua traktor itu dikendarai pekerja bule dan Aborijin dan menyusuri bedeng-bedeng berisi sayur brokoli atau lettuce siap panen. Tugas kami adalah memotong bonggol-bonggol sayuran yang ukurannya ideal untuk dipasarkan dan melemparkannya ke atas converyer belt yang kemudian meneruskannya ke dalam bins. Bedeng-bedeng yang kami lalui rupanya telah dirancang dan diukur sedemikian rupa agar pas dengan lebar bodi dan roda kedua traktor yang digunakan, sehingga walaupun ladang dipenuhi sayuran, nyaris tidak ada sayuran yang terlindas roda.

Kerja keras kami ditantang oleh luasnya ladang yang harus dijelajahi dan cuaca panas yang tanpa kompromi menguras energi, ketahanan dan kesabaran kami. Untunglah, para pekerja Australia sangat pengertian dan tidak main perintah. Kamipun mengisi waktu kerja dengan canda-tawa dan cerita-cerita yang kami sebut "cerita Abunawas" yang konyol. Sayang, teman-teman Korea kami tidak ambil bagian dalam bagian ini. Mungkin karena "kuper" atau karena masalah bahasa.

Para pekerja Australia kadang-kadang ikut bercanda dengan kami dan di antara mereka dengan gurauan yang biasanya mengandung swear words khas Australia. Kadang-kadang mereka bermain-main dengan saling melemparkan bonggol atau batang sayuran yang kami panen. Pameo Boys will always be boys ternyata berlaku juga di sini.

Sekitar pukul 10 pagi kami diberi kesempatan untuk melakukan "smoker" yang di ladang ini ternyata berarti istirahat. Pukul 1.30 kami diberi kesempatan makan siang selama sekitar 30 menit. Jika nature calls dan kami harus kencing, kami melakukannya di bawah pohon di sisi ladang atau bahkan di tengah ladang, biasanya diiringi senyuman dan tawa penuh pengertian teman-teman yang lain.

Dari pekerjaan ini teman-teman yang telah bekerja lebih lama (sejak Desember 2008) telah mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli mobil dan belanja keperluan sehari-hari atau dikirimkan kepada keluarga di Indonesia. Ada juga yang menabung untuk dibawa pulang ketika selesai kuliah nanti. Mungkin tidak salah julukan saya untuk teman-teman ini: "pahlawan devisa".

Sayang, karena harus konsentrasi menyelesaikan proposal dan instrumen penelitian, saya memutuskan untuk berhenti setelah 4 hari menekuni pekerjaan ini. Mudah-mudahan jika masih ada kesempatan, saya ingin bekerja seperti ini lagi di waktu-waktu mendatang.

Yang akan selalu saya ingat dari pekerjaan ini adalah sensasi unik yang saya rasakan di akhir hari kerja ketika mandor bule yang mengawasi bins yang telah kami isi penuh berseru dalam logat Australia yang kental: "That's it. No more cuts. We're out of here."

Foto: Saya di tengah ladang brokoli Matilda Farms dalam balutan "busana kerja" khas "pahlawan devisa" alias "butuh tani" di Negeri Kanguru. Foto-foto lain ada di bagian sebelah kanan blog ini.

Wednesday, January 21, 2009

Obama dan Indonesia? Tak Terpisahkan....


Dunia tercengang dan tak bisa menahan rasa takjub, bahkan tawa.....

Presiden AS Barack Obama yang pernah menjalani masa kecil di Jakarta, ternyata memiliki kembaran di Indonesia. Dia adalah Ilham Anas, wartawan foto sebuah majalah remaja di Jakarta. Demikian diberitakan koran The Age, Australia, dalam situsnya http://www.theage.com.au/world/indonesian-lookalike-cashes-in-on-obamamania 20090120-7lqe.html, mengutip berita AFP, Kamis, 22 Januari 2009.

Konon setiap orang memiliki kembaran di suatu tempat. Bahwa mereka akhirnya bisa dipersandingkan langsung atau lewat foto (paling tidak untuk saat ini) seperti foto Barack Obama dan Ilham Anas di atas hanyalah soal waktu. Dengan fenomena ini, keterkaitan Obama dengan Indonesia bisa dikatakan tak terpisahkan lagi: yang asli ada di Amerika dan tiruannya ada di Indonesia. Now that's hard to beat!



Wednesday, January 7, 2009

Pembantaian di Gaza dan Kemunafikan Australia


Lebih sepuluh tahun lalu di Adelaide, South Australia, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa gaduh dan histeris reaksi masyarakat Australia terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai 'pembantaian Indonesia di Timor Timur'. Waktu itu, Timor Timur (Timtim, kini Timor Leste) adalah provinsi ke-27 Indonesia yang penuh gejolak. Walaupun telah beritegrasi dengan Indonesia sejak tahun 1976 (?), rakyatnya terbagi ke dalam kelompok pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Yang pro-kemerdekaan didukung sentimen masyarakat internasional dan yang pro-integrasi terseok-seok di medan diplomasi. Opsi otonomi yang ditawarkan Presiden Habibie ketika itu ditolak rakyat Timtim dalam proses referendum yang difasilitasi PBB. Keinginan merdeka itu disambut kelompok pro-integrasi dengan tindakan balasan dengan kekerasan membabi-buta dan politik bumi-hangus. Hasilnya, ratusan ribu orang Timtim dilaporkan terbunuh, fasilitas umum yang susah payah dibangun selama integrasi hancur berantakan, dan reputasi Indonesia terpuruk di mata dunia. Tidak hanya itu, Islam juga dipermalukan karena status Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia digunakan oleh media dunia untuk menggambarkannya sebagai 'kolonialis Muslim' yang menduduki wilayah penganut Katolik.

Semua peristiwa ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional. Berkali-kali saya menyaksikan sendiri dan mengetahui dari berita di media massa Australia bagaimana Indonesia dicaci-maki masyarakat Australia pro-Timtim. Secara pribadi, saya tidak pernah setuju dengan keberadaan Indonesia di Timtim. Sejarah menunjukkan bahwa Timtim sejak dulu bukan bagian dari Hindia Belanda dan dengan sendirinya tidak pantas dipaksa-paksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Lagipula, Indonesia di Timtim adalah Indonesia 'Si Penjajah Norak' yang menghabiskan milyaran rupiah setiap tahun untuk 'membangun' Timtim dan memperjuangkannya di berbagai forum diplomasi internasional, tetapi tidak pernah berhasil merebut hati rakyatnya, karena terlalu menonjolkan pendekatan keamanan yang juga terbukti gagal di Aceh, Papua dan daerah lain yang bergolak. Pendeknya, Indonesia memang tidak berhak atas Timtim, sekalipun invasi Indonesia atas Timtim di tahun 1976 didukung Australia, Amerika Serikat (AS) dan sebagian masyarakat Timtim sendiri. Bagaimana bisa sebuah bangsa yang pernah menderita karena penjajahan 350 tahun oleh bangsa-bangsa asing justru melakukan hal yang pernah dibencinya dan dilawannya dengan gigih, penuh pengorbanan?

Tetapi sentimen itu tidak sedikitpun mengubah keindonesiaan saya dan saya tetap merasa sangat sedih bahwa bangsa dan negara yang saya cintai dicaci-maki oleh para demonstran Australia. Suatu ketika, di tengah hiruk-pikuk demonstrasi anti-Indonesia di Adelaide, saya bahkan sempat memohon kepada Rob Amery, seorang dosen saya yang turut berdemo, agar tidak membakar Sang Merah Putih. Rob berusaha meyakinkan saya bahwa yang dibenci para pendemo bukanlah Indonesia dan rakyatnya, tetapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan penguasanya. Di mata saya saat itu, masyarakat Australia terlihat sangat peduli atas isu penegakan HAM, kemerdekaan dan demokrasi di berbagai penjuru dunia. Diam-diam saya salut, namun saya tetap berusaha berpikir jernih, karena saya tahu bahwa reaksi masyarakat, pemerintah Australia, dan masyarakat internasional atas nama HAM dan demokrasi sering diselipi kepentingan tertentu. Saya membatin, pasti ada 'hidden agenda' dalam semua reaksi ini. Bisakah mereka tetap berpikir dan bersikap objektif dalam kasus yang berbeda?

Pertanyaan itu baru terjawab sekarang. Sepinya reaksi masyarakat Australia (kecuali warga Muslimnya tentu) kepada Israel atas tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menewaskan lebih dari 600 orang, sebagian di antaranya anak-anak dan warga sipil, menunjukkan bahwa masyarakat Australia ternyata tidak bisa bersikap atas tindakan Israel itu sekeras sikap mereka dulu atas Indonesia. Ternyata mereka menggunakan standard ganda, kalau bukan bersikap munafik! Walaupun kelompok HAMAS patut dipersalahkan karena tidak menempatkan keselamatan warga Jalur Gaza sebagai prioritas dalam strategi perangnya, serangan Israel dan tragedi kemanusiaan yang disebabkannya merupakan tindakan berlebihan yang seharusnya tidak bisa diterima akal sehat manusia beradab di manapun, apapun latarbelakang etnis, ras, dan agamanya. Kalau masyarakat Australia merasa beradab, lebih beradab daripada Indonesia yang mereka caci-maki 11 tahun lalu, saya ingin melihat reaksi keras mereka terhadap kebiadaban Israel di Jalur Gaza SEKARANG!

Wednesday, December 31, 2008

Selamat Tahun Baru 2009!


Saat saya menulis posting ini, waktu menunjukkan pukul 8:47 malam (lewat waktu magrib di sini). Dalam hitungan tiga jam lebih sedikit dari sekarang, Armidale dan seluruh penghuninya, termasuk saya, akan menyambut tahun baru 2009. Tiga jam sesudah itu, Makassar dan Bolaang Mongondow juga akan memasuki tahun baru yang penuh tantangan ini. Dalam suasana yang reflektif begini, pikiran dan hati saya tertuju kepada orang-orang yang sangat saya cintai di Makassar dan Bolaang Mongondow.

Tahun 2008 yang hampir lewat sudah memberi saya banyak hal, baik yang penuh kegembiraan maupun kesedihan. Dalam perjalanan waktu itu, orang-orang yang saya cintai sangat mewarnai perjalanan berliku dan naik-turun yang saya jalani di tahun 2008, mulai dari kegembiraan memperoleh beasiswa studi lanjut (dan bahkan untuk itu harus memilih antara Australia dan Amerika), kehilangan Ibunda tercinta untuk selama-lamanya, berpisah dari istri dan anak-anak dan keluarga lain, hingga hari-hari penuh perjuangan, kesepian, kesedihan, sekaligus optimisme di tanah rantau ini....semuanya membuat saya bagaikan orang yang belepotan cat warna-warni.

Saya ingin menyambut tahun 2009 dengan gembira, optimisme yang tinggi, dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahapenyayang, walaupun saya juga prihatin atas banyak hal: krisis ekonomi dunia yang sedikit banyak mulai terasa akibatnya di Armidale dengan harga barang dan jasa yang meningkat; kondisi perdamaian dunia dan lingkungan hidup yang makin buruk saja; kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketamakan manusia, dan berbagai bentuk kemalangan lain di dunia, termasuk di Australia, Indonesia, Makassar, dan Bolaang Mongondow.

Semoga tahun 2009 memberi kita sedikit kesempatan untuk memperbaiki semua itu.

Selamat Menapaki dan Mengisi Tahun 2009 dalam Kesejahteraan, Kebahagiaan dan Kedamaian. Semoga Kita Semua Belepotan Cat Warna-warni Cerah!


Foto: Imandi, pada suatu pagi yang cerah, secerah harapan kita untuk 2009.


Sunday, December 28, 2008

Jadi Mail Deliverer


Di hari yang cerah dan hangat ini, saya diajak Bu Lily (asal Ternate) dan Bu Mila (Surabaya) mengedarkan koran lokal The Independent ke rumah-rumah penduduk di tiga lokasi berbeda di dalam dan sekitar Armidale. Koran ini terbit setiap hari Rabu pagi dan dibagikan secara gratis ke seluruh penduduk Armidale dan sekitarnya pada hari itu juga. Namun karena libur Natal, pengedaran minggu ini tertunda hingga akhir pekan.

Kebetulan hari Minggu dan saya bingung harus melakukan apa setelah malam sebelumnya 'melumat' habis empat artikel ilmiah dalam rangka penulisan proposal penelitian saya. Dengan mengendarai Si Echo, sepeda saya, saya menuju rumah Bu Lily untuk kemudian mengambil koran-koran yang akan diedarkan - ratusan jumlahnya dan sebelumnya sudah diselipi brosur-brosur iklan.

Di rumah Bu Lily saya berkenalan dengan suaminya, Pak Hamka, yang baru tiba malam sebelumnya dari Indonesia untuk berlibur dengan istri dan tiga anaknya di Armidale. Tanpa menunda waktu, tepat pukul 7:30 pagi, kami langsung memasukkan koran-koran ke dalam tas belanjaan warna hijau, lalu memasukkan tas-tas itu ke dalam bagasi mobil dan bergegas menuju lokasi pertama. Bu Lily bertugas sebagai 'korlap' merangkap driver kami.

Di perhentian pertama, Bu Lily langsung memperlihatkan peta lokasi dan membagi tugas di antara kami berempat. Sayapun segera bergerak ke rumah-rumah dalam area ('wilayah kerja') saya, melipat atau menggulung koran dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak surat yang terdapat di depan rumah-rumah itu. Setelah menyelesaikan area ini, kami bergerak ke area lain dan melakukan hal yang sama hingga pukul 2.30 siang.

Saya sangat menikmati pengalaman pertama melakukan pekerjaan ini, sehingga tantangan bebukitan, gonggongan anjing pemilik rumah, sengatan matahari yang cukup panas, dahaga yang memuncak, kulit terbakar matahari, pening menahan silau musim panas, dan rasa pegal di sekujur kaki nyaris tidak saya pedulikan lagi.

Untuk melakukan pekerjaan ini, setiap deliverer dibayar 1o sen per koran oleh penerbit The Independent. Upah bisa bertambah 10 sen untuk setiap brosur iklan yang diselipkan di dalam koran itu. Hasil yang dapat diperoleh deliverer dalam setiap kali pengedaran koran ini tergantung pada banyaknya rumah di satu area dan selipan brosur dalam koran. Upah bisa berkisar antara $40 hingga $80 per minggu -- lumayan untuk membiayai keperluan belanja makanan seminggu, dan menyehatkan karena dilakukan dengan berjalan kaki.

Selain itu, pemandangan yang indah di setiap sudut Armidale, rumah-rumah mungil nan cantik, rerumputan hijau segar-terawat, bunga-bunga yang bersemi di mana-mana, pepohonan yang teduh, ketenangan dan kebersihan lingkungan yang kita nikmati selama bekerja, dan keramah-tamahan penduduk yang kita jumpai merupakan bonus tambahan yang menyenangkan. Sambil bekerja kemarin saya sempat berkhayal: seandainya di Indonesia semua orang bisa menikmati kehidupan di pemukiman yang indah, teratur, sehat dan ramah seperti di Armidale ini...mungkin kita bisa lebih lama menikmati hidup. Ahh....

Sayapun membenarkan slogan pekerjaan ini: Get Fit and Get Paid.

Foto: Saya sedang memasukkan koran The Independent ke dalam kotak surat di satu sudut Armidale, Minggu 28 Desember 2008 sekitar pukul 1:30 siang.

Tuesday, December 23, 2008

Hanukah di Armidale


Pada hari Minggu 21 Desember lalu saya mendapat undangan istimewa dari Sophie Nicholls, sahabat saya sesama mahasiswa PhD di Linguistics Department. Dia dan suaminya mengundang kami semua mahasiswa PhD dan dosen pembimbing datang ke rumahnya merayakan Hanukah, hariraya agama Yahudi yang disebutnya sebagai "The Festival of Lights". Eyal Herz, suami Sophie, adalah orang Israel yang lama bersekolah di AS dan kini kuliah di Armidale.

Bagi saya pribadi, ini pengalaman langka: bersentuhan langsung dengan pemeluk dan tradisi dari agama yang selama ini selalu dianggap 'lawan' dari Islam.

Saya orang pertama yang tiba di rumah Sophie. Ketika saya masuk, saya mengucapkan selamat Hanukah kepada empunya rumah. Sophie langsung menawarkan minum; Eyal minta maaf tidak bisa menemani saya duduk di ruang tamu karena sedang membuat sesuatu di dapur. Saya menduga pasti itu makanan yang akan kami santap nanti. Tak lama kemudian, satu per satu tamu datang. Interaksi sesama tamu bermula di meja ruang tamu dengan permainan khas Hanukah. Saya lupa lupa namanya, tetapi masing-masing pemain mendapat setumpuk koin, lalu bergiliran memutar dadu dengan simbol-simbol bahasa Ibrani. Setiap simbol yang muncul memberi kami peluang untuk menyerahkan satu koin ke tengah meja (berarti rugi) atau mengambil beberapa koin dari tengah meja itu (berarti untung), dan seterusnya. Pemenang adalah pemain yang berhasil mengambil alih semua koin pemain-pemain lain. End of the game...

Sophie kemudian mengajak kami ke meja makan dan bersama-sama membuat sufganyiot, semacam donat yang bagian tengahnya diisi selai stroberi. Asyik juga membuat donat ini. Setelah itu Sophie menggoreng donat yang kami buat dan menaburinya dengan gula halus. Kami melahap donat-donat itu dengan nikmat. Setelah makan dua donat saya bertanya kepada Sophie apa resep donatnya. Dia menyebutkan semua ingredients-nya, termasuk whisky! Wah... rupanya minuman beralkohol itu yang turut membuat donat-donat ini begitu enak! Tapi sudahlah...sudah terlanjur masuk ke perut.

Selain donat sufganyiot, sang tuan rumah juga memasak gorengan tepung campur bumbu (semacam peye' di Indonesia.) Peye' yang satu ini diberi sedikit krim dan daging ikan salmon asap di atasnya. Enak sekali - mengingatkan saya pada peye' jagung muda campur ikan teri basah buatan istri saya di Makassar. Sambil makan, Sophie dan Eyal menceritakan sejarah Hanukah dan mengajak kami menyanyikan lagu khas Yahudi sambil menyalakan lilin di tempat lilin agama Yahudi yang disebut manorah.

Sambil makan, saya berbincang dengan Eyal dan Jeff, seorang dosen kami, yang mengaku sebagai orang Yahudi. Kami bicara banyak tentang Islam, Yahudi, Arab, Indonesia, politik, sejarah, bahasa dan sebagainya. Dari penuturan keduanya saya makin paham bahwa ternyata tidak semua orang Israel itu Yahudi, tidak semua orang Yahudi membenci Islam dan orang Palestina, Yahudi bisa diartikan sebagai agama dan bisa juga hanya sebagai etnis, dan bahwa orang Yahudi bisa memeluk berbagai agama, termasuk Islam.

Hal-hal seperti ini sudah pernah saya dengar sebelumnya dari berbagai sumber, tapi baru kali ini saya dengar langsung dari orang Yahudi. Saya juga kemudian tahu bahwa walaupun Eyal dan Jeff orang Yahudi, mereka ternyata Yahudi ateis.

Foto: Perayaan Hanukah di rumah Sophie. Dari kiri ke kanan: Christina, Carsten, Liz, Matthew, Eyal, Jeff, dan Cliff. Sophie di depan Eyal, terhalang oleh Cliff.