
Lebih sepuluh tahun lalu di Adelaide, South Australia, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa gaduh dan histeris reaksi masyarakat Australia terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai 'pembantaian Indonesia di Timor Timur'. Waktu itu, Timor Timur (Timtim, kini Timor Leste) adalah provinsi ke-27 Indonesia yang penuh gejolak. Walaupun telah beritegrasi dengan Indonesia sejak tahun 1976 (?), rakyatnya terbagi ke dalam kelompok pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Yang pro-kemerdekaan didukung sentimen masyarakat internasional dan yang pro-integrasi terseok-seok di medan diplomasi. Opsi otonomi yang ditawarkan Presiden Habibie ketika itu ditolak rakyat Timtim dalam proses referendum yang difasilitasi PBB. Keinginan merdeka itu disambut kelompok pro-integrasi dengan tindakan balasan dengan kekerasan membabi-buta dan politik bumi-hangus. Hasilnya, ratusan ribu orang Timtim dilaporkan terbunuh, fasilitas umum yang susah payah dibangun selama integrasi hancur berantakan, dan reputasi Indonesia terpuruk di mata dunia. Tidak hanya itu, Islam juga dipermalukan karena status Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia digunakan oleh media dunia untuk menggambarkannya sebagai 'kolonialis Muslim' yang menduduki wilayah penganut Katolik.
Semua peristiwa ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional. Berkali-kali saya menyaksikan sendiri dan mengetahui dari berita di media massa Australia bagaimana Indonesia dicaci-maki masyarakat Australia pro-Timtim. Secara pribadi, saya tidak pernah setuju dengan keberadaan Indonesia di Timtim. Sejarah menunjukkan bahwa Timtim sejak dulu bukan bagian dari Hindia Belanda dan dengan sendirinya tidak pantas dipaksa-paksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Lagipula, Indonesia di Timtim adalah Indonesia 'Si Penjajah Norak' yang menghabiskan milyaran rupiah setiap tahun untuk 'membangun' Timtim dan memperjuangkannya di berbagai forum diplomasi internasional, tetapi tidak pernah berhasil merebut hati rakyatnya, karena terlalu menonjolkan pendekatan keamanan yang juga terbukti gagal di Aceh, Papua dan daerah lain yang bergolak. Pendeknya, Indonesia memang tidak berhak atas Timtim, sekalipun invasi Indonesia atas Timtim di tahun 1976 didukung Australia, Amerika Serikat (AS) dan sebagian masyarakat Timtim sendiri. Bagaimana bisa sebuah bangsa yang pernah menderita karena penjajahan 350 tahun oleh bangsa-bangsa asing justru melakukan hal yang pernah dibencinya dan dilawannya dengan gigih, penuh pengorbanan?
Tetapi sentimen itu tidak sedikitpun mengubah keindonesiaan saya dan saya tetap merasa sangat sedih bahwa bangsa dan negara yang saya cintai dicaci-maki oleh para demonstran Australia. Suatu ketika, di tengah hiruk-pikuk demonstrasi anti-Indonesia di Adelaide, saya bahkan sempat memohon kepada Rob Amery, seorang dosen saya yang turut berdemo, agar tidak membakar Sang Merah Putih. Rob berusaha meyakinkan saya bahwa yang dibenci para pendemo bukanlah Indonesia dan rakyatnya, tetapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan penguasanya. Di mata saya saat itu, masyarakat Australia terlihat sangat peduli atas isu penegakan HAM, kemerdekaan dan demokrasi di berbagai penjuru dunia. Diam-diam saya salut, namun saya tetap berusaha berpikir jernih, karena saya tahu bahwa reaksi masyarakat, pemerintah Australia, dan masyarakat internasional atas nama HAM dan demokrasi sering diselipi kepentingan tertentu. Saya membatin, pasti ada 'hidden agenda' dalam semua reaksi ini. Bisakah mereka tetap berpikir dan bersikap objektif dalam kasus yang berbeda?
Pertanyaan itu baru terjawab sekarang. Sepinya reaksi masyarakat Australia (kecuali warga Muslimnya tentu) kepada Israel atas tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menewaskan lebih dari 600 orang, sebagian di antaranya anak-anak dan warga sipil, menunjukkan bahwa masyarakat Australia ternyata tidak bisa bersikap atas tindakan Israel itu sekeras sikap mereka dulu atas Indonesia. Ternyata mereka menggunakan standard ganda, kalau bukan bersikap munafik! Walaupun kelompok HAMAS patut dipersalahkan karena tidak menempatkan keselamatan warga Jalur Gaza sebagai prioritas dalam strategi perangnya, serangan Israel dan tragedi kemanusiaan yang disebabkannya merupakan tindakan berlebihan yang seharusnya tidak bisa diterima akal sehat manusia beradab di manapun, apapun latarbelakang etnis, ras, dan agamanya. Kalau masyarakat Australia merasa beradab, lebih beradab daripada Indonesia yang mereka caci-maki 11 tahun lalu, saya ingin melihat reaksi keras mereka terhadap kebiadaban Israel di Jalur Gaza SEKARANG!
Semua peristiwa ini mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat internasional. Berkali-kali saya menyaksikan sendiri dan mengetahui dari berita di media massa Australia bagaimana Indonesia dicaci-maki masyarakat Australia pro-Timtim. Secara pribadi, saya tidak pernah setuju dengan keberadaan Indonesia di Timtim. Sejarah menunjukkan bahwa Timtim sejak dulu bukan bagian dari Hindia Belanda dan dengan sendirinya tidak pantas dipaksa-paksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Lagipula, Indonesia di Timtim adalah Indonesia 'Si Penjajah Norak' yang menghabiskan milyaran rupiah setiap tahun untuk 'membangun' Timtim dan memperjuangkannya di berbagai forum diplomasi internasional, tetapi tidak pernah berhasil merebut hati rakyatnya, karena terlalu menonjolkan pendekatan keamanan yang juga terbukti gagal di Aceh, Papua dan daerah lain yang bergolak. Pendeknya, Indonesia memang tidak berhak atas Timtim, sekalipun invasi Indonesia atas Timtim di tahun 1976 didukung Australia, Amerika Serikat (AS) dan sebagian masyarakat Timtim sendiri. Bagaimana bisa sebuah bangsa yang pernah menderita karena penjajahan 350 tahun oleh bangsa-bangsa asing justru melakukan hal yang pernah dibencinya dan dilawannya dengan gigih, penuh pengorbanan?
Tetapi sentimen itu tidak sedikitpun mengubah keindonesiaan saya dan saya tetap merasa sangat sedih bahwa bangsa dan negara yang saya cintai dicaci-maki oleh para demonstran Australia. Suatu ketika, di tengah hiruk-pikuk demonstrasi anti-Indonesia di Adelaide, saya bahkan sempat memohon kepada Rob Amery, seorang dosen saya yang turut berdemo, agar tidak membakar Sang Merah Putih. Rob berusaha meyakinkan saya bahwa yang dibenci para pendemo bukanlah Indonesia dan rakyatnya, tetapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan penguasanya. Di mata saya saat itu, masyarakat Australia terlihat sangat peduli atas isu penegakan HAM, kemerdekaan dan demokrasi di berbagai penjuru dunia. Diam-diam saya salut, namun saya tetap berusaha berpikir jernih, karena saya tahu bahwa reaksi masyarakat, pemerintah Australia, dan masyarakat internasional atas nama HAM dan demokrasi sering diselipi kepentingan tertentu. Saya membatin, pasti ada 'hidden agenda' dalam semua reaksi ini. Bisakah mereka tetap berpikir dan bersikap objektif dalam kasus yang berbeda?
Pertanyaan itu baru terjawab sekarang. Sepinya reaksi masyarakat Australia (kecuali warga Muslimnya tentu) kepada Israel atas tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir di Jalur Gaza, Palestina, yang telah menewaskan lebih dari 600 orang, sebagian di antaranya anak-anak dan warga sipil, menunjukkan bahwa masyarakat Australia ternyata tidak bisa bersikap atas tindakan Israel itu sekeras sikap mereka dulu atas Indonesia. Ternyata mereka menggunakan standard ganda, kalau bukan bersikap munafik! Walaupun kelompok HAMAS patut dipersalahkan karena tidak menempatkan keselamatan warga Jalur Gaza sebagai prioritas dalam strategi perangnya, serangan Israel dan tragedi kemanusiaan yang disebabkannya merupakan tindakan berlebihan yang seharusnya tidak bisa diterima akal sehat manusia beradab di manapun, apapun latarbelakang etnis, ras, dan agamanya. Kalau masyarakat Australia merasa beradab, lebih beradab daripada Indonesia yang mereka caci-maki 11 tahun lalu, saya ingin melihat reaksi keras mereka terhadap kebiadaban Israel di Jalur Gaza SEKARANG!
No comments:
Post a Comment