Wednesday, December 31, 2008

Selamat Tahun Baru 2009!


Saat saya menulis posting ini, waktu menunjukkan pukul 8:47 malam (lewat waktu magrib di sini). Dalam hitungan tiga jam lebih sedikit dari sekarang, Armidale dan seluruh penghuninya, termasuk saya, akan menyambut tahun baru 2009. Tiga jam sesudah itu, Makassar dan Bolaang Mongondow juga akan memasuki tahun baru yang penuh tantangan ini. Dalam suasana yang reflektif begini, pikiran dan hati saya tertuju kepada orang-orang yang sangat saya cintai di Makassar dan Bolaang Mongondow.

Tahun 2008 yang hampir lewat sudah memberi saya banyak hal, baik yang penuh kegembiraan maupun kesedihan. Dalam perjalanan waktu itu, orang-orang yang saya cintai sangat mewarnai perjalanan berliku dan naik-turun yang saya jalani di tahun 2008, mulai dari kegembiraan memperoleh beasiswa studi lanjut (dan bahkan untuk itu harus memilih antara Australia dan Amerika), kehilangan Ibunda tercinta untuk selama-lamanya, berpisah dari istri dan anak-anak dan keluarga lain, hingga hari-hari penuh perjuangan, kesepian, kesedihan, sekaligus optimisme di tanah rantau ini....semuanya membuat saya bagaikan orang yang belepotan cat warna-warni.

Saya ingin menyambut tahun 2009 dengan gembira, optimisme yang tinggi, dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahapenyayang, walaupun saya juga prihatin atas banyak hal: krisis ekonomi dunia yang sedikit banyak mulai terasa akibatnya di Armidale dengan harga barang dan jasa yang meningkat; kondisi perdamaian dunia dan lingkungan hidup yang makin buruk saja; kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketamakan manusia, dan berbagai bentuk kemalangan lain di dunia, termasuk di Australia, Indonesia, Makassar, dan Bolaang Mongondow.

Semoga tahun 2009 memberi kita sedikit kesempatan untuk memperbaiki semua itu.

Selamat Menapaki dan Mengisi Tahun 2009 dalam Kesejahteraan, Kebahagiaan dan Kedamaian. Semoga Kita Semua Belepotan Cat Warna-warni Cerah!


Foto: Imandi, pada suatu pagi yang cerah, secerah harapan kita untuk 2009.


Sunday, December 28, 2008

Jadi Mail Deliverer


Di hari yang cerah dan hangat ini, saya diajak Bu Lily (asal Ternate) dan Bu Mila (Surabaya) mengedarkan koran lokal The Independent ke rumah-rumah penduduk di tiga lokasi berbeda di dalam dan sekitar Armidale. Koran ini terbit setiap hari Rabu pagi dan dibagikan secara gratis ke seluruh penduduk Armidale dan sekitarnya pada hari itu juga. Namun karena libur Natal, pengedaran minggu ini tertunda hingga akhir pekan.

Kebetulan hari Minggu dan saya bingung harus melakukan apa setelah malam sebelumnya 'melumat' habis empat artikel ilmiah dalam rangka penulisan proposal penelitian saya. Dengan mengendarai Si Echo, sepeda saya, saya menuju rumah Bu Lily untuk kemudian mengambil koran-koran yang akan diedarkan - ratusan jumlahnya dan sebelumnya sudah diselipi brosur-brosur iklan.

Di rumah Bu Lily saya berkenalan dengan suaminya, Pak Hamka, yang baru tiba malam sebelumnya dari Indonesia untuk berlibur dengan istri dan tiga anaknya di Armidale. Tanpa menunda waktu, tepat pukul 7:30 pagi, kami langsung memasukkan koran-koran ke dalam tas belanjaan warna hijau, lalu memasukkan tas-tas itu ke dalam bagasi mobil dan bergegas menuju lokasi pertama. Bu Lily bertugas sebagai 'korlap' merangkap driver kami.

Di perhentian pertama, Bu Lily langsung memperlihatkan peta lokasi dan membagi tugas di antara kami berempat. Sayapun segera bergerak ke rumah-rumah dalam area ('wilayah kerja') saya, melipat atau menggulung koran dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak surat yang terdapat di depan rumah-rumah itu. Setelah menyelesaikan area ini, kami bergerak ke area lain dan melakukan hal yang sama hingga pukul 2.30 siang.

Saya sangat menikmati pengalaman pertama melakukan pekerjaan ini, sehingga tantangan bebukitan, gonggongan anjing pemilik rumah, sengatan matahari yang cukup panas, dahaga yang memuncak, kulit terbakar matahari, pening menahan silau musim panas, dan rasa pegal di sekujur kaki nyaris tidak saya pedulikan lagi.

Untuk melakukan pekerjaan ini, setiap deliverer dibayar 1o sen per koran oleh penerbit The Independent. Upah bisa bertambah 10 sen untuk setiap brosur iklan yang diselipkan di dalam koran itu. Hasil yang dapat diperoleh deliverer dalam setiap kali pengedaran koran ini tergantung pada banyaknya rumah di satu area dan selipan brosur dalam koran. Upah bisa berkisar antara $40 hingga $80 per minggu -- lumayan untuk membiayai keperluan belanja makanan seminggu, dan menyehatkan karena dilakukan dengan berjalan kaki.

Selain itu, pemandangan yang indah di setiap sudut Armidale, rumah-rumah mungil nan cantik, rerumputan hijau segar-terawat, bunga-bunga yang bersemi di mana-mana, pepohonan yang teduh, ketenangan dan kebersihan lingkungan yang kita nikmati selama bekerja, dan keramah-tamahan penduduk yang kita jumpai merupakan bonus tambahan yang menyenangkan. Sambil bekerja kemarin saya sempat berkhayal: seandainya di Indonesia semua orang bisa menikmati kehidupan di pemukiman yang indah, teratur, sehat dan ramah seperti di Armidale ini...mungkin kita bisa lebih lama menikmati hidup. Ahh....

Sayapun membenarkan slogan pekerjaan ini: Get Fit and Get Paid.

Foto: Saya sedang memasukkan koran The Independent ke dalam kotak surat di satu sudut Armidale, Minggu 28 Desember 2008 sekitar pukul 1:30 siang.

Tuesday, December 23, 2008

Hanukah di Armidale


Pada hari Minggu 21 Desember lalu saya mendapat undangan istimewa dari Sophie Nicholls, sahabat saya sesama mahasiswa PhD di Linguistics Department. Dia dan suaminya mengundang kami semua mahasiswa PhD dan dosen pembimbing datang ke rumahnya merayakan Hanukah, hariraya agama Yahudi yang disebutnya sebagai "The Festival of Lights". Eyal Herz, suami Sophie, adalah orang Israel yang lama bersekolah di AS dan kini kuliah di Armidale.

Bagi saya pribadi, ini pengalaman langka: bersentuhan langsung dengan pemeluk dan tradisi dari agama yang selama ini selalu dianggap 'lawan' dari Islam.

Saya orang pertama yang tiba di rumah Sophie. Ketika saya masuk, saya mengucapkan selamat Hanukah kepada empunya rumah. Sophie langsung menawarkan minum; Eyal minta maaf tidak bisa menemani saya duduk di ruang tamu karena sedang membuat sesuatu di dapur. Saya menduga pasti itu makanan yang akan kami santap nanti. Tak lama kemudian, satu per satu tamu datang. Interaksi sesama tamu bermula di meja ruang tamu dengan permainan khas Hanukah. Saya lupa lupa namanya, tetapi masing-masing pemain mendapat setumpuk koin, lalu bergiliran memutar dadu dengan simbol-simbol bahasa Ibrani. Setiap simbol yang muncul memberi kami peluang untuk menyerahkan satu koin ke tengah meja (berarti rugi) atau mengambil beberapa koin dari tengah meja itu (berarti untung), dan seterusnya. Pemenang adalah pemain yang berhasil mengambil alih semua koin pemain-pemain lain. End of the game...

Sophie kemudian mengajak kami ke meja makan dan bersama-sama membuat sufganyiot, semacam donat yang bagian tengahnya diisi selai stroberi. Asyik juga membuat donat ini. Setelah itu Sophie menggoreng donat yang kami buat dan menaburinya dengan gula halus. Kami melahap donat-donat itu dengan nikmat. Setelah makan dua donat saya bertanya kepada Sophie apa resep donatnya. Dia menyebutkan semua ingredients-nya, termasuk whisky! Wah... rupanya minuman beralkohol itu yang turut membuat donat-donat ini begitu enak! Tapi sudahlah...sudah terlanjur masuk ke perut.

Selain donat sufganyiot, sang tuan rumah juga memasak gorengan tepung campur bumbu (semacam peye' di Indonesia.) Peye' yang satu ini diberi sedikit krim dan daging ikan salmon asap di atasnya. Enak sekali - mengingatkan saya pada peye' jagung muda campur ikan teri basah buatan istri saya di Makassar. Sambil makan, Sophie dan Eyal menceritakan sejarah Hanukah dan mengajak kami menyanyikan lagu khas Yahudi sambil menyalakan lilin di tempat lilin agama Yahudi yang disebut manorah.

Sambil makan, saya berbincang dengan Eyal dan Jeff, seorang dosen kami, yang mengaku sebagai orang Yahudi. Kami bicara banyak tentang Islam, Yahudi, Arab, Indonesia, politik, sejarah, bahasa dan sebagainya. Dari penuturan keduanya saya makin paham bahwa ternyata tidak semua orang Israel itu Yahudi, tidak semua orang Yahudi membenci Islam dan orang Palestina, Yahudi bisa diartikan sebagai agama dan bisa juga hanya sebagai etnis, dan bahwa orang Yahudi bisa memeluk berbagai agama, termasuk Islam.

Hal-hal seperti ini sudah pernah saya dengar sebelumnya dari berbagai sumber, tapi baru kali ini saya dengar langsung dari orang Yahudi. Saya juga kemudian tahu bahwa walaupun Eyal dan Jeff orang Yahudi, mereka ternyata Yahudi ateis.

Foto: Perayaan Hanukah di rumah Sophie. Dari kiri ke kanan: Christina, Carsten, Liz, Matthew, Eyal, Jeff, dan Cliff. Sophie di depan Eyal, terhalang oleh Cliff.



Saturday, December 20, 2008

Cukur Baru


Hari ini saya meminta Pak Jonner Hutahaen, dosen Politeknik Bandung dan housemate saya di sini, untuk menggunting rambut saya yang sudah agak gondrong. Terakhir saya cukur (istilah kami di Makassar buat gunting rambut) beberapa jam sebelum meninggalkan Makassar bulan Oktober lalu.

Pak Jonner dengan senang hati menyambut permintaan ini. Teman Vietnam kami, Huong Nguyen, mahasiswa agronomi, meminjamkan mesin pencukur rambut miliknya. Ketika menyerahkan mesin itu kepada saya, Huong bilang bahwa mesin itu dibeli urunan dengan uang dari dia dan dua rekan senegaranya. Mereka biasa menetapkan satu hari dalam sebulan untuk saling mencukur rambut. Dalam hati saya, "Pintar juga orang Vietnam menghemat ongkos cukur rambut".

Pak Jonner ternyata cukup piawai memotong rambut. Dia juga memberi tips tentang cukur rambut yang saya simak dengan serius. Tampaknya ini satu keahlian yang sejak dulu tidak saya perhatikan dan perlu sedikit demi sedikit saya pelajari. Dia juga bilang, "Dulu waktu sekolah di Bandung saya serumah dengan kakak, adik dan kemenakan dari Tapanuli. Rambut mereka saya yang potong, jadi nggak perlu ke tukang cukur. Waktu sekolah di Amerika, teman-teman Indonesia yang laki-laki ke saya semua cukurnya." Dan ternyata hasil kerja Abang kita yang satu ini cukup baik dan sayapun merasa cukup puas.

Setelah giliran saya selesai, Pak Jonner meminta Huong mencukur sedikir rambut di sekitar telinganya. Saya menggunakan kesempatan ini untuk memotret aktivitas mereka.

Inilah sekilas potret anak bangsa yang mencoba menyiasati biaya sehari-hari dengan saling membantu dalam penghematan, senasib sepenanggungan....

Foto: Huong sedang menggunting rambut Pak Jonner.

Friday, December 19, 2008

Sepeda Baru


Beberapa hari yang lalu saya membeli sepeda baru di Kmart Armidale. Sejak tiba di Armidale saya memang sudah berencana membeli sepeda untuk transportasi dalam kota. Waktu masih di Makassar saya sebenarnya sudah membeli sepeda lipat Polygon dan berniat membawanya ke Armidale. Tapi setelah mempertimbangkan beratnya yang dapat melebihi baggage allowance di pesawat, saya akhirnya mengurungkan niat itu dan menghadiahkan sepeda itu kepada putri sulung saya Adelaida.

Selama tiga bulan terakhir saya memang menunggu momen liburan Natal untuk memperoleh diskon. Dan niat saya memiliki sepeda yang bisa digunakan ke mana-mana akhirnya kesampaian. setelah memperoleh diskon 33% dari harga sebelumnya. Walaupun bukan yang terbaik kualitasnya, sepeda laki-laki bermerek TRIAX Echo dengan aluminium alloy frame ini sangat kokoh, macho, bertenaga dan enak dipandang (seperti saya he...he...he...).

Waktu membeli sepeda ini saya sengaja berjalan kaki dari rumah ke Kmart di pusat kota, dan langsung mengendarainya pulang setelah membeli perlengkapannya, yaitu helm sepeda, kunci, pengaman dan boncengan barang. Saya menyusuri cycling track selebar 2 meteran yang menjadi jalan pintas dari pusat kota ke arah kampus, melalui kali, taman, rerumputan, kompleks perumahan, kemudian berbelok mengambil jalur jalan raya ke arah rumah saya. Paha agak pegal dan nafas agak ngos-ngosan juga, tapi itu biasa buat yang sudah agak lama tidak menggenjot pedal sepeda. Saya juga sudah mengendarai sepeda ini ke kampus; tapi 200 meter sebelum tiba di fakultas, saya harus turun dan mendorongnya menaiki bukit sepanjang Booloominbah Drive. Lagi-lagi, saya harus agak ngos-ngosan, dan untunglah di sini tidak banyak orang yang melihat saya 'menderita' seperti ini. Dua hari yang lalu saya juga pergi ke kota mengendarai sepeda ini untuk membayar rent rumah dan membeli beberapa bahan makanan. Masih sedikit ngos-ngosan juga plus beringus karena kencangnya angin musim panas di sini. Untuk seterusnya, saya akan membiasakan diri mengendarai sepeda ini ke berbagai tempat, termasuk ke UNE Sports Hall, tempat saya bermain badminton dua kali seminggu.

Dengan sepeda ini, kini saya bisa menyapa teman-teman yang saya jumpai di jalanan dengan kriing...kriing...kriing!

Foto: Kenalkan sepeda saya: Echo (baca 'ikow').




Monday, December 15, 2008

Idul Adha di Armidale


Idul Adha 1429H di Armidale kami rayakan di UNE Mosque pada hari Senin, 8 Desember 2008. Sesudah salat subuh dini hari itu, saya langsung bersiap ke masjid untuk menunaikan salat Id pada pukul 7.30. Saya memutuskan mengenakan kemeja batik, karena saya yakin brothers and sisters dari berbagai negara di Armidale juga akan mengenakan pakaian tradisional mereka. Lima menit sebelum pukul 7, Dr Zifirdaus Adnan, supervisor saya dan pemuka masyarakat Indonesia dan umat Islam Armidale, menjemput saya dengan mobilnya dan kami meluncur ke masjid dalam suasana pagi yang sangat sejuk dan matahari yang mulai menari-nari di ufuk Timur. Dr Adnan terlihat sangat rapi dalam balutan busana resmi, lengkap dengan dasi, jaket panjang (coat) dan peci Aceh.

Setibanya kami di masjid, terlihat beberapa brothers sedang menyiapkan terpal plastik sebagai penutup rerumputan di luar masjid yang menjadi lokasi salat Id. Sayapun segera menyingsingkan lengan baju membantu menggelar terpal itu dan membersihkannya dari debu. Brothers yang lain menyiapkan pengeras suara dan meja tempat makanan. Kaum hawa yang datang kemudian meletakkan makanan dan minuman ala kadarnya di meja di bawah pohon tak jauh dari tempat salat.

Tepat pukul 7.45 (terlambat 15 menit dari jadwal yang disepakati), salat Id dimulai. Dr Adnan bertindak sebagai imam dengan alunan suara mengaji khas orang Melayu - mendayu-dayu dan syahdu, memimpin jamaah yang ternyata tidak terlalu banyak jumlahnya tahun ini. Mungkin banyak brothers and sisters yang sudah 'pada kabur' setelah berjuang semester ini dan memanfaatkan liburan Natal.

Selesai salat, Dr Adnan melanjutkan tugasnya sebagai khatib. Beliau menekankan pentingnya umat Islam meneladani ketakwaan Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Kepada para mahasiswa Muslim di UNE, beliau menyerukan agar 'melakukan kurban', antara lain dengan berjuang menghindari segala bentuk maksiat yang ada dan selalu menggoda kaum Muslim di tengah-tengah masyarakat Barat seperti di Armidale ini. Beliau juga mengingatkan pentingnya kaum Muslim di rantau ini memperhatikan nasib kaum Muslim di berbagai belahan dunia yang, menurut Dr Adnan, dapat menjadi korban paling parah dari krisis ekonomi dunia saat ini.

Selesai salat, kami bersalaman satu sama lain. Selain berjabatan tangan, rupanya brothers dari negara-negara Timur Tengah punya cara yang cukup menarik: mereka merangkul kita tiga kali, dari kanan, ke kiri, dan ke kanan lagi, dengan metode cipika-cipiki ditingkahi bunyi bibir yang mirip suara bayi mengisap dot...pset-pset-pset. Tak lupa kalimat "Assalamu'alaikum. Eid mubaarak, brother" meluncur dari bibir mereka yang terselip di antara kumis dan janggut cukup lebat. Setelah melakukan ritual yang mirip aktivitas Teletubbies itu, kami bergerak ke meja yang dipenuhi makanan dan minuman hasil bring a plate kaum hawa. Agak aneh juga mencicipi salah satu hidangan yang ada: nasi kuning berminyak dengan rasa susu, kayu manis, dan gula! Karena kaget dengan sensasinya, saya lupa menanyakan apa nama masakan Timur Tengah ini. Seperti biasa, semua kegiatan kami ini turut diramaikan dengan bunyi jepretan kamera berbagai jenis, mengabadikan kegembiraan semua yang hadir.

Sekitar pukul 8.30, kami merapikan dan membersihkan kembali tempat salat, melipat sandaran kursi...eh melipat terpal...dengan rapi dan mengembalikan semua peralatan ke garden shed di samping masjid. Karena hari itu hari kerja, yang bekerja sebagai dosen, seperti Dr Adnan, dan kami mahasiswa yang tidak libur karena riset PhD atau Master by Research, bergerak menuju ruang kerja masing-masing sebelum waktu mulai kerja pukul 9. Tidak jelas siapa yang mengurus hewan kurban (tapi saya yakin ada brothers yang sudah menanganinya). Teman-teman lain seperti Pak Ramal dari Untad Palu (lihat foto kami di samping), ketika saya tanya "Mau ke office juga?", dengan santai menjawab dalam logat Melayu-Palu yang kental: "Ah, mau puulang tiidur laagi."

Foto: Brothers sedang cipika-cipiki dan berangkulan dalam suasana Idul Adha.

Sunday, December 14, 2008

Jalan-jalan ke Tamworth, NSW


Hari ini saya dan tiga teman Indonesia jalan-jalan ke Tamworth, NSW, yang terletak sekitar 100km di sebelah timur-selatan Armidale. Pak Eddy Widodo dari Unipa Manokwari, Pak Ramal dari Untad Palu, Pak Lukman dari UIN Surabaya dan saya sendiri mengunjungi kota yang kabarnya 3 kali lebih luas dari Armidale ini. Tamworth bukan kota sembarangan, terutama dalam dunia musik country. Jika di Amerika Serikat Nashville, Tennessee, merupakan kiblat musik country dunia, maka Tamworth adalah the country music capital di Australia (setidak-tidaknya begitu klaim yang tertera pada pintu gerbang kota). Kabarnya, Tantowi Yahya, Bapak Musik Country Indonesia, pernah manggung di sini dalam festival music country pada bulan Januari lalu.

Perjalanan dari Armidale kami mulai pada pukul 12.30 siang dari Hungry Jack's, Armidale tempat kami makan siang. Matahari bersinar cerah namun tidak begitu panas menyengat Armidale yang sehari sebelumnya diguyur hujan dan diselimuti udara dingin. Pak Eddy yang menyetir tampak sangat terampil mengendalikan mobil yang kami tumpangi. Kondisi jalan yang mulus dan tidak padat membuat perjalanan kami sangat menyenangkan. Canda-tawa kami mewarnai perjalanan menyusuri New England Highway (yang berakhir di Sydney, sekitar 450km dari Tamworth) ini. Kami melewati hutan eucalyptus dan pepohonan lain khas Australia, kota-kota kecil, peternakan domba dan sapi, perkebunan anggur, dan sebagainya. Setelah sekitar 2 jam menikmati semua pemandangan ini, kamipun tiba di Tamworth.

Tamworth menyambut kami dengan dingin. Pusat kota dan jalanannya agak sepi - tidak begitu banyak kendaraan dan manusia yang lalu lalang; toko-toko pun sudah banyak yang tutup. Mungkin karena hari Minggu dan musim liburan.

Kesan pertama kami ketika berkeliling mencari tempat parkir: kota ini agak kotor dan seperti tidak terawat, agak tidak lazim untuk Australia yang kami kenal. Kami akhirnya memutuskan memarkir kendaraan di jalanan di bagian belakang kompleks pertokoan dekat lapangan cricket. Setelah itu kami mencari toilet di dalam taman kota di samping lapangan cricket tadi. Pak Ramal yang lebih dahulu menemukan toilet keluar dari toilet sambil mengeluh: "Toiletnya jorok dan bau - kayak toilet di Indonesia saja!" Saya dan Pak Eddy yang kemudian masuk menemukan hal yang dimaksud Pak Ramal: bau pesing menyengat, lantai basah berpasir dan tisu basah bertebaran. Kata Pak Eddy, "Benar-benar kayak toilet di Indonesia". Saya menambahkan sambil tertawa, "Seperti habis dipakai orang Serui!" Pak Eddy yang asal Papua tertawa mengiyakan.

Dari toilet kami menyusuri trotoar yang tidak tertata rapi. Tujuan kami: pusat perbelanjaan kota - di sini biasanya disebut the mall - yang tepat di tengah kota namun tidak di dalam gedung seperti di Indonesia. Sepanjang mall ini, pohon-pohon peneduh berjejer rapi di trotoar yang terhampar di kedua sisi jalan, masing-masing tampak nyaris selebar jalanan kendaraan di tengahnya. Walaupun tidak begitu lebar, jalanannya dua arah, dan masih ada area parkir di pinggiran. Trotoar di sini dilapisi batu-bata dan ubin berwarna senada dalam formasi yang cukup indah. Dibandingkan dengan mall di Armidale, mall di sini mungkin 3 kali lebih panjang. Sayang...di sana-sini banyak bagian yang tidak begitu terawat - lagi-lagi agak ganjil buat ukuran Australia yang sangat memperhatikan detail. Anyway, kami menyempatkan diri berfoto sendirian dan bersama di sepanjang mall ini, termasuk di depan Tamworth Regional Council - semacam DPRD, yang di depannya dihiasi pohon Natal.

Saya sempat melihat sebuah sepeda motor Triumph klasik dengan tangki berwarna merah. Pemiliknya sangat bangga ketika saya memuji motornya, namun menolak motornya difoto. Dia pun berlalu dengan dalam raungan motornya bruuuuuuuuummmmmm, meninggalkan saya yang terkagum-kagum.

Setelah menyantap pizza di Pizza Hut, kami bertolak kembali ke Armidale. Cuaca mulai sejuk cenderung dingin, angin bertiup agak kencang, dan jalanan pun kian sepi. Kota-kota kecil yang kami lewati tadi siang, kini terlihat nyaris seperti kota mati. Kalaupun ada 'kehidupan', yang tampak hanya kendaraan terparkir di pinggiran jalan, dan satu-dua orang di sekitar local pubs yang masih buka. Tapi the rugged beauty alam Australia di sekeliling kota-kota ini sangat mempesona dan eksotis. Di beberapa bagian lain suasana alamnya mengingatkan saya pada Dumoga: lembah luas berbukit dan dikelilingi gunung-gunung perkasa. Padang rumput yang luas di sini tampak seperti hamparan sawah di kampung halaman nun jauh di Sulawesi Utara sana. Pikiran saya melayang kepada istri dan anak-anak di Makassar. Mudah-mudahan Tuhan memudahkan semua rencana saya untuk membawa mereka ke sini agar mereka dapat juga menikmati keindahan alam NSW.

Akhirnya, kami tiba di Armidale sekitar pukul 5 sore. Pak Eddy dan saya yang tinggal berdekatan turun duluan. Pak Ramal mengambil alih kemudi dan membawa kembali mobilnya kembali ke Smith House, tempat tinggalnya, ditemani Pak Lukman yang tampak sangat mengantuk. Saya juga capek dan mengantuk. Wajar...It's been a long day. Tapi kami berempat sudah janjian, bulan Januari nanti kami akan kembali mengunjungi Tamworth untuk menyaksikan festival tahunannya. Kami ingin mencoba line dance massal yang diiringi alunan musik country...dan siapa tahu bisa ketemu Tantowi Yahya.

Foto: Saya di depan Tamworth Regional Council dan pohon Natal raksasa di Tamworth Mall. Jepretan Pak Lukman.

Tuesday, December 9, 2008

Katamsi Ginano

Tulisan ini juga dimuat dalam blog saya yang lain: http://totabuanmasadepan.blogsot.com.

Kemarin malam saya mendapat email yang tidak disangka-sangka dari Katamsi Ginano. Saya terkejut mendapat kabar dari sesama putra Totabuan yang selama ini dikenal karena kegigihannya mengritik perilaku pejabat-pejabat di Bolmong lewat media massa dan dunia maya. Saya dan Katamsi kebetulan pernah sekolah di SMP Negeri I Kotamobagu pada awal tahun '80an dan kuliah di Manado di akhir '80an dan awal '90an. Bedanya, Katamsi di Teknik UNSRAT dan sempat memimpin majalah mahasiswa yang cukup berpengaruh di Unsrat, dan saya di Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Manado dan nyaris tidak dikenal. Bedanya lagi, Katamsi sangat giat menulis di mana-mana dan saya hanya diam-diam terkagum-kagum melihat anak Mongondow yang satu ini mulai menancapkan 'bendera kemongondowannya' dalam sejumlah tulisannya, terutama di Manado Post. Karena urusan kerja dan sekolah di berbagai tempat, saya baru 'bersua' lagi dengan tulisan Katamsi beberapa tahun lalu ketika saya pulang kampung ke Imandi untuk berlebaran Idul Fitri dan sempat membaca edisi-edisi lama Manado Post di rumah orangtua saya.

Tulisan Katamsi sangat bertenaga, tajam, witty, namun tetap cerdas. Referensinya yang luas dan kelugasannya menyorot persoalan-persoalan pelik menunjukkan bakatnya sebagai penulis handal yang argumennya sangat sulit dipatahkan. Memang pada bagian-bagian tertentu tulisannya, Katamsi kadang-kadang agak judgmental dan tanpa sungkan menyematkan 'gelar-gelar' tertentu pada penanggap atau penulis lain yang berseberangan gagasan dengan dia. 'Gelar-gelar' itu mungkin agak keras untuk ukuran orang awam. Tetapi menurut hemat saya, sikap dan name-calling itu didasari oleh daya kritisnya yang meledak-ledak dan kepeduliannya pada kemaslahatan orang banyak dan pada kebenaran. Untuk ukuran Bolmong, potensi Katamsi tidak ada duanya, apalagi kalau kita mempertimbangkan muatan nilai-nilai filosofis, wawasan global, dan sastra dalam tulisannya.

Walaupun demikian, saya terus terang agak kaget mengetahui bahwa Katamsi kini bekerja di Newmont. Pekerjaan adalah urusan pribadi, tetapi dengan segala hormat dan pransangka baik, saya hanya berharap Katamsi bisa mempertahankan objektivitasnya dalam berpikir, berkata dan menulis di bawah bendera perusahaan asing yang pernah disidangkan (namun kemudian dinyatakan tidak bersalah) dalam kasus yang merugikan lingkungan dan masyarakat Bolmong - yang justru selalu hendak dibela oleh Katamsi. Katamsi perlu memperhatikan hal penting ini karena Katamsi yang sudah menulis di mana-mana secara kritis itu bukan lagi Katamsi yang milik Newmont saja, tapi Katamsi yang telah terlanjur menjadi milik masyarakat intelektual, kaum kritis, dan orang Bolmong kebanyakan.

Saya sering membayangkan suatu saat nanti saya pulang kampung ke Bolmong dan turut mengambil peran dalam mengembangkan perguruan tinggi negeri (PTN) atau minimal PTN keguruan (seperti STKIP atau PGSD) di Bolmong. Saya pengen membina atau terlibat sebagai akademisi dalam studi kebahasaan di PTN itu. Seperti yang sudah saya utarakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya ingin mengembangkan PTN itu menjadi centreof excellence yang membina calon-calon intelektual dan pemimpin Bolmong yang peduli bukan hanya tentang masalah ekonomi, politik, pertanian, dll, tetapi juga pada budaya Bolmong yang mencakup bahasa, sastra, sejarah, masyarakat, agama, tradisi, dan adat-istiadatnya. Dalam hal terakhir ini, saya tidak melihat calon lain dari kalangan non-akademik selain Kak Katamsi Ginano yang dapat dimintai bantuan tenaga, moril, materil dan intelektual untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Terus terang, kalau bicara mimpi-mimpi di atas, saya nyaris putus asa. Kabar pembentukan PTN di Bolmong tidak pernah terdengar lagi, dan bahkan keluarga saya di Bolmong mengaku tidak pernah mendengar itu lagi. Mereka bilang, seorang calon walikota Kota Kotamobagu dalam Pilkada baru-baru ini pernah dalam kegiatan kampanyenya mengutarakan niatnya untuk menyumbangkan tanahnya bagi pendirian kampus PTN itu. Tapi karena beliau tidak terpilih, niat itu tidak terwujud dan tidak ada kabarnya lagi. Berita-berita tentang Bolmong di Manado Post dan Harian Komentar (online) kebanyakan hanya berita membosankan tentang politik, pemilu, pilkada, dll. Nyaris tidak ada orang di Bolmong yang serius dengan urusan PTN ini, padahal kalau mau mendirikan Provinsi Totabuan, PTN harus ada juga. Bagaimana mungkin ada provinsi tapi tidak ada PTN-nya? Di mana think tank Bolmong bisa dicetak kalau bukan melalui PTN ini? Ke mana mencari center of excellence dan pools of intellectuals Bolmong kalau bukan ke PTN ini? Bagaimana mungkin kita bisa mencetak guru (yang jumlahnya selalu kurang itu) kalau bukan melalui PTN keguruan? Kalau untuk urusan ini anak-anak Bolmong harus jauh-jauh ke Manado, Gorontalo, Makassar, Yogya, Jakarta, dll, bagaimana kita bisa melahirkan Katamsi-Katamsi baru?

Sunday, December 7, 2008

Idul Adha 1429 H

Selamat Merayakan Idul Adha 1429 H. Semoga teladan Nabi Ibrahim AS menguatkan semangat berkorban demi sesama dan menyingkirkan nafsu hewani dari diri kita. Insya Allah.

Saturday, December 6, 2008

Salam dari Armidale, NSW, Australia


Halo! Apa kabar?

Saat ini saya tinggal di kota Armidale, negara bagian New South Wales (NSW), Australia. Saya mengambil program Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang Applied Linguistics di School of Arts and School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences, Faculty of Arts and Sciences, University of New England (UNE), di Armidale, mulai tahun 2008 hingga 2011.

Untuk sementara keluarga saya tercinta, Nina, istri saya, serta Aida dan Gina, dua putri kami, masih tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Jika semua urusan dan persiapan lancar, insya Allah mereka akan bergabung dengan saya di sini pada pertengahan tahun depan. Saya sangat merindukan mereka bertiga.

Di kampung halaman tercinta saya, Imandi, di Dumoga, Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara, saat ini tinggal adik kandung saya, Lady Farahdiba, yang telah menikah dengan seorang pria Banten bernama Hendra dan dikaruniai seorang putri bernama Tata. Selain itu saya juga memiliki paman dan bibi yang sangat saya cintai: Saman Laoh dan Nur Simanon. Keduanyalah yang memelihara saya sewaktu kecil karena ibu saya yang cacat tidak dapat sepenuhnya merawat saya. Di Imandi juga kini terdapat kuburan dari ayah dan ibu saya: Almarhum Rahman Korompot dan Almarhumah Djahara Simanon. Selain keluarga terdekat ini, saya masih memiliki kerabat dekat dan jauh di Imandi, Dumoga, Siniyung, Biga, Upai, Pontodon, Bolaang, Kopandakan, Matali, dll. - semuanya di Bolmong. Cinta dan rindu saya bagi mereka senantiasa.

Saya tinggal di Unit 1, 85 Queen Elizabeth Drive, Armidale, NSW 2350, Australia. Saya berbagi rumah berkamar tiga ini dengan dengan 2 orang teman Indonesia dan 1 teman Vietnam. Jarak rumah ini ke kampus cukup dekat sehingga saya sering berjalan kaki pergi-pulang. Tapi kadang-kadang saya naik bis ke kampus kalau sedang terburu-buru, dan pulang berjalan kaki. Asyik juga jalan kaki...selain hemat, hitung-hitung olahraga, walaupun kendalanya adalah medan yang agak menantang: 200 meteran mendekati gedung fakultas saya, jalanan cukup menanjak, sehingga nafas agak ngos-ngosan dibuatnya. Tapi kalau pulang bisa meluncur, namun harus berhati-hati karena pepohonan di kiri-kanan jalan dihuni burung magpies yang induknya dikenal sering menyerang pengguna jalan yang kebetulan lewat di bawah sarang anak-anaknya.

Armidale terletak di wilayah New England, di sebelah barat daya Sydney, NSW, dan tepat berada di pertengahan jalan antara Sydney dan Brisbane, Queensland. Perjalanan ke Armidale dari Sydney dapat ditempuh lewat darat (mobil, bis, kereta) sekitar 6 jam dan lewat udara sekitar 1 jam. Karena terletak di pegunungan, cuaca di Armidale cenderung lebih sejuk dibandingkan daerah lain di Australia. Pada musim dingin salju bisa turun di Armidale dan suhu udara bisa turun hingga -10 derajat Celsius. Bahkan di saat musim panas seperti sekarang, cuaca bisa cukup sejuk, mendung dan sering hujan.

Saya agak kerepotan waktu tiba di sini - sempat flu berat, diperiksa dokter dan minum obat segala. Mulanya juga saya agak "menyesal" mengapa tidak memilih studi di Adelaide, tempat saya dulu kuliah S2, yang lebih hangat. Tapi lambat laun saya mulai menyukai Armidale dan suasana "small town"nya, apalagi dengan lingkungannya yang sangat bersih, rumah-rumahnya yang mungil namun apik, bunga-bungaan yang bersemi di mana-mana, taman-taman yang indah, rerumputan hijau terhampar, pepohonan yang teduh, gedung-gedung tua namun kokoh bersandingan dengan gedung-gedung baru berarsitektur modern, lalu-lintas yang tertib, masyarakatnya yang ramah, kehidupan akademik kampus yang maju dan cerdas dalam lingkungan kampus yang asri di bebukitan. Kampus UNE juga mengingatkan saya pada lokasi kampus almamater saya dulu IKIP Manado (kini Universitas Negeri Manado) di Tonsaru, Tondano.

Di Armidale orang Indonesia tidak banyak, tapi kami memiliki Komunitas Indonesia di Armidale Australia (KIAA) yang punya beragam kegiatan kemasyarakatan. Sebagian anggota KIAA adalah mahasiswa dan sebagian lagi penduduk tetap/warga negara Australia asal Indonesia. Di antara mereka bahkan ada yang telah hidup di sini lebih dari 50 tahun. Armidale juga memiliki komunitas Muslim yang diramaikan oleh warga Muslim dari berbagai negara, terutama Timur Tengah. Komunitas ini biasa bertemu atau beribadah di UNE Mosque. Masjid ini terletak di bagian depan kampus, tepatnya di Booloominbah Drive, jalan masuk kampus.

Tempat saya menyalurkan kegemaran bermain bulutangkis di Armidale adalah UNE Sports Hall. Di sini saya bermain 2 kali seminggu bersama supervisor saya Dr Zifirdaus Adnan dan teman-teman asal Indonesia, Australia, India, Thailand, Cina, Taiwan, Jepang, Afrika Selatan, dll. Awalnya saya agak kaku memainkan shuttlecock plastik yang kami gunakan di sini, karena "terbang" lebih liar dibandingkan shuttlecock bulu, tapi ternyata akhirnya saya terbiasa. Smash!!!

Mudah-mudahan di tahun-tahun mendatang banyak mahasiswa Indonesia -bahkan kalau bisa ada yang dari Bolmong- yang datang menuntut ilmu di UNE, atau jalan-jalan dan menikmati keelokan kota kecil nan permai ini.

Di Armidale ini saya selalu merasa rindu kepada semua yang saya cintai...

Selain kepada keluarga, kerinduan saya yang mendalam tercurah kepada Bolmong kampung halaman yang sangat saya cintai. Meminjam ungkapan Katamsi Ginano, kakak kelas saya di SMP Negeri I Kotamobagu dulu, kecintaan pada Bolmong adalah "rasa cinta yang penuh rasa cemburu" - cemburu pada segelintir orang yang kebetulan berkuasa di sana namun hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, bukan Bolmong dan rakyatnya. Bagi saya, cinta dan cemburu itu juga berisi rasa bangga menjadi putra Bolmong dan turut berjuang di rantau demi kemajuan, martabat dan kemasyhurannya.

Saya tentu juga merindukan Makassar, kota Anging Mammiri, kota yang penuh arti bagi saya, kota tempat saya menyumbangkan tenaga untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara Indonesia tercinta. Setelah lebih 8 tahun bermukim di Makassar, saya telah merasa menjadi bagian tak terpisahkan darinya dan turut merasakan "cinta-cemburu-bangga" pada kota di Salatang (begitu kami menyebutnya) yang dulu hanya ada dalam angan-angan saya sebagai seorang anak desa miskin nun jauh di utara jazirah Sulawesi. Makassar juga tempat tinggal Syamsuddin Gp. dan Ilinnyong, ayah dan ibu mertua yang amat saya sayangi, yang -seperti juga anggota keluarga yang lain di Makassar- selalu hadir untuk saya dalam suka dan duka.

Dalam blog ini saya tampilkan sejumlah foto berisi gambar orang-orang dan tempat-tempat yang terkait dengan saya. Maaf kalau sebagian terkesan agak narsisistik - menampilkan diri sendiri.

Sekali lagi, salam "tabi bo tanob" (sayang dan rindu).

Foto: Saya, keluarga dan teman-teman seperjuangan di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar pada hari keberangkatan saya, 5 Oktober 2008.